Qoryah Thayyibah, jika
diartikan per-suku kata Qoryah artinya desa, dan Thayyibah artinya baik, indah,
unggul, mandiri atau intinya segala sesuatu yang baik, jadi Qoryah Thayyibah
berarti Desa yang baik. Sebenarnya QT (Qoryah Thayyibah) adalah nama serikat
tani atau lengkapnya Serikat Paguyuban Tani QT dan paguyuban inilah yang
digunakan sebagai komunitas belajar. Jadi, komunitas belajar tersebut
terintegrasi dengan serikat tani. QT Beralamat di Desa Kalibening, Salatiga,
Jawa Tengah. Sejak didirikan pada tahun 2003, sampai sekarang QT sudah
menampung sekitar 50 siswa.
Pada awalnya komunitas
belajar QT hanya memiliki 12 siswa, namanya bukan komunitas belajar tapi SMP
Qoryah Thayyobah dan mereka-pun masih menggunakan kurikulum nasional yang sama
dengan sekolah-sekolah biasa yang lain, menurut Bapak Bahruddin (pendiri komunitas
belajar QT), jika jumlah
siswa kurang dari 10 maka QT ini tidak akan terbentuk,
jadi dia sangat bersyukur atas partisipasi ke-12 siswa tersebut. Bahkan ada
salah satu siswa dari ke-12 siswa tersebut yang telah masuk sekolah favorit di
Salatiga, namun oleh Pak Bahruddin dia diajak masuk ke QT, lalu dia pun mau,
proses ini tentu saja melalui diskusi sekaligus persetujuan dari orang tua si
anak tersebut, dan tentu saja dengan anak itu sendiri.
Kenapa mereka mengubah
nama mereka menjadi Komunitas Belajar?? Penulis dapat menyimpulkan bahwa mereka
menganggap jika kurikulum nasional itu bersifat menekan siswa, memaksa siswa,
menjunjung tinggi individualitas, menginginkan siswa untuk bersaing dan adanya
guru yang bertugas untuk mengajar siswa. Hal-hal tersebut mereka angap hanya
akan mematikan kreatifitas siswa, karena siswa tidak diberi kebebasan berpikir,
mereka hanya bersifat seperti wadah, yang siap untuk menerima segala
hal. Jadi mereka manganggap bahwa, belajar harus berawal dari kemauan dan
kemampuan siswa dan guru atau pendamping hanya bertugas sebagai penyemangat,
pendukung dari apa yang siswanya lakukan. Itulah kenapa mereka memutuskan untuk
mengganti dari SMP Qoryah Thayyibah menjadi Komunitas Belajar (Learning
Society) Qoryah Thayyibah.
Sekarang, dengan
perjuangan yang tidak kenal lelah, sampai saat jumlah siswa di QT ini sudah
mencapai kurang lebih 50 orang, dan itu bukan hanya dari Salatiga, banyak
siswanya yang berasal dari luar Salatiga, bahkan ada yang berasal dari Sumatra.
Dan salah satu siswa yang penulis temui disana berasal dari Malang, dan menurut
Mas Muntaha (Salaha satu pendamping di QT) dia masuk ke QT karena dulunya dia
mengalami masalah di sekolahnya yang lama. Dia sangat suka bermain musik, itu
terlihat saat dia sedang asyiknya memetik sebuah gitar dengan bernyanyi nyayi
lirih.
Komunitas belajar QT
tentu saja memiliki kurikulum yang sangat berbeda dengan kurikulum pada
sekolah-sekolah biasa, dapat diakatan kurikulum yang dipakai di QT adalah
kurikulum yang membebaskan siswa untuk belajar apa saja, tidak seperti sekolah
biasa yang setiap siswa dituntut untuk mempelajari semua mata pelajaran yang
sudah ditetapkan. Jadi di QT, sejak awal siswa sudah bisa langsung memilih sendiri
bidang apa yang akan dipelajari, yang menyukai musik akan lebih fokus ke musik,
yang menyukai menulis sastra akan lebih fokus ke sastra, yang suka melukis akan
lebih fokus ke melukis. Namun bukan berarti siswa hanya boleh belajar satu
bidang saja, selain itu mereka juga bisa belajar yang lain. Bahkan jika mereka
ingin belajar biologi, matematika, fisika dll itupun bisa.
Jadi konsep
pembelajaran di QT ini adalah sepenuhnya
dikembalikan atau dipusatkan kepada anak, sehingga pembelajarannya
sesuai dengan kemampuan dan kemauan anak itu sendiri. Pada akhirnya anak akan
merasa senang dan tidak akan bosan-bosan
untuk belajar, karena memang apa yang dipelajarinya sudah menjadi
kesenangannya. Cara inipun berhasil membuat anak-anak berkarya dalam bidangnya,
salah satu contohnya adalah Maia, di sudah menulis 25 buku, beberapa sudah ada
yang diterbitkan oleh penerbit terkenal dan sudah di jual di Gramedia. Belum
lagi karya-karya yang lain, seperti film, musik, penelitian dll. Bahkan
siswa-siswa QT dengan didampingi pendamping
telah menciptakan sebuah lagu yang menjadi Mars/Hymne Sekolah Kesetaraan.
Alasan / Dasar mengapa
Pak Bahruddin membangun Kelompok Belajar ini diantaranya. Pertama, dia
berpendapat bahwa pendidikan di Indonesia sekarang ini semakin rusak, semakin
bobrok, maksudnya pendidikan yang sekarang ini tidak menjadikan anak mandiri
dan kreatif. Maksudnya adalah setiap anak memiliki keahlian di bidangnya
masing-masing, namun pendidikan sekarang ini malah bersifat memaksa anak-anak agar
menguasai berbagai macam bidang. Hal ini tentu saja akan menjadikan anak bosan
dan malas untuk belajar, makanya saat masa-masa SMP dan SMA para siswa sudah
memiliki keberanian untuk membolos, mereka membolos memang karena mereka bosan
dengan berbagai macam bidang yang menuntut untuk dikuasai. Contohnya, anak yang
sangat ahli dibidang bahasa, namun mereka lemah di bidang yang lain, dan saat
ujian hanya nilai bahasanya yang baik bahkan sangat baik, namun bidang yang
lain mendapat nilai yang rendah, dan oleh sebab itu si anak ahli bahasa itu
tidak lolos atau gagal dalam ujian. Dan menurut penulis sendiri, hal tersebut
malah dapat membuat mental sisa tersebut down dan pada akhirnya di jadi
frustasi untuk belajar. Fenomena tersebut-lah yang sangat mengganggu di benak
Pak Bahruddin
Kedua,
mengenai biaya. Pah Bahruddin merasa tergerak hatinya untuk membangun kelompok
belajar, karena dia melihat banyak
anak-anak yang hanya diam, karena ketidak mampuan keluarga mereka untuk
mememnuhi kebutuhan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Karena pada dasarnya
proses belajar di Komunitas Belajar QT ini gratis, termasuk para guru
(dipanggil pendamping jika di QT) tidak menerima gaji sepeser-pun. Hanya saja
ada biaya tambahan, seperti kebutuhan internet, pembuatan news-letter dll,
itu-pun atas hasil musyawarah para siswa sendiri, bukan tuntutan dari pihak QT.
Jadi per-bulan setiap siswa di QT iuran sebesar Rp.25.000,00 untuk kebutuhan
internet, internernetnya-pun di kelola
oleh anak-anak sendiri. Dan Rp.6.000,00 untuk pembuatan news-letter
tadi. News-letter itupun hasil dari siswa QT itu sendiri. Misalkan uang
tersebut masih tersisa, mereka memasukannya kedalam kas.
Yang menjadi pertanyaan
sekarang bagaimana proses pembelajaran yang ada di Komunitas Belajar QT ini??
Yang pertama, tentang siswa atau anak-anak QT, di awal sudah cukup
banyak disinggung mengenai hal ini. Langsung saja menuju yang kedua, penulis
akan membahas tentang si pengajar, karena unsur ini sangat penting dalam proses
pembelajaran, tanpa adanya pengajar, Komunitas Belajar QT ini tidak akan
terwujud. Di QT, guru dipanggil “pendamping”, mereka direkrut dari lingkungan
sekitar QT, jumlah pendamping saat QT pertama kali didirikan berjumlah 15 orang
sedangkan siswanya 12. Sebagai pedamping ,mereka hanya ditugaskan mendampingi
siswa sekaligus terus mendukung apa yang
siswa lakukan. Dan yang paling keren, mereka semua tidak menuntut gaji. Tidak
seperti di sekolah-sekolah biasa, guru dianggap sebagai orang yang tahu segalanya
dan cenderung mendikte para siswanya
untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Ketiga mengenai
jadwal, pelajaran dan tempat untuk belajar anak-anak sendiri-lah yang
menentukannya, jadi siswa bebas untuk belajar apa saja dan dimana saja. Meskipun
begitu, anak-anak QT memiliki juga memiliki jadwal tetap yaitu Selasa-Jumat
sampai jam 10 pagi. Sedangkan di Hari Senin, mereka mengadakan upacara, namun
upacaranya berbeda dengan upacara di sekolah-sekolah biasa. Mereka hanya
mengumpulkan seluruh siswa dan menyuruh mereka untuk duduk sambil membuat
lingkaran, disana para siswa disuruh untuk mengutarakan dan menuliskan ide atau
gagasannya dan berawal dari situlah muncul karya-karya yang luar biasa.
Keempat,
di QT tidak mengenal sistem ranking, karena siste ranking dianggap Pak
Bahruddin akan menimbulkan permusuhan antar siswa, karena menurutnya jika ada
sistem ranking, maka setiap siswa pasti akan menjatuhkan siswa yang lain dan
secara tidak langsung akan menimbulka permusuhan. Karena kunci sukses belajar
adalah mencari teman yang sebanyak-banyaknya.
Namun sebenarnya, Komunitas
Belajar QT pernah memakai sistem ranking dan nilai dalam menentukan keberhasilan siswa. Namun
saat para siswa mengikuti semacam lomba cerdas cermat, dalam prediksi para
pembimbing mereka bisa menang, namun keputusan juri berkata lain, mereka
akhirnya kalah. Dan para siswa merasa kecewa begitu juga para pembimbing, jadi
Pak Bahruddin memutuskan untuk menghilangkan sistem ranking dan nilai, karena hanya
akan menimbulkan perasaan kecewa pada si pelaku.
Kelima, mengenai
ijazah, apakah di Komunitas Belajar ini mendapat ijazah seperti di sekolah
biasa?? Tentu saja dapat, jadi Komunitas Belajar ini mereka daftarkan atau
menurut Pak Bahruddin “dicantolkan” ke program kesetaraan, atau yang lebih kita
kenal sebagai paket B dan C. Jadi siswa yang lulus dari QT ini tetap bisa untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan, orang
tua tidak mau memasukkan anaknya ke sekolah yang tidak menyediakan ijazah,
ditambah lagi kebanyakan orang tua masih menganggap bahwa ijazah itu penting.
Keenam,
Qoryah Toyibah juga menerapkan sistem mandiri kepada para siswanya, jadi segala
hal yang berhubungan dengan pembelajaran tidak hanya di hanya diurus oleh
pembimbing, namun siswa-siswanya-pun juga terjun langsung kelapangan. Contohnya,
untuk penggunaan internet, tentu saja komputer dan segala perangkat kerasnya
telah disiapkan untuk pembimbing, namun untuk pembayaran internet, para siswa
merembuk sendiri dan pengelolaannya-pun diatur dikelola oleh siswa sendiri. Tujuan
akhir yang direncanakan Pak Bahruddin adalah dia ingin sekolah-sekolah
alternative atau komunitas-komunitas belajar ini bisa muncul dimana-mana.
Ketujuh,
Apakah siswa di QT mengikuti Ujian Nasional (UN)??? Pak Bahruddin lagi-lagi
membebaskan siswa dalam menentukan hal ini, jadi dia membebaskan siswa boleh
ikut atau tidak dalam UN. Namun kebanyakan siswa di QT mengganggap bahwa UN itu
adalah gangguan dalam mengembangkan karyanya, namun dalam perjalanannya ada 3
(tiga) siswa yang mengikuti UN, dan ke-tiga anak ini dianggap penghianat oleh
siswa-siswa yang lain, karena melanggar kesepakatan untuk tidak ikut UN. Lalu
siswa-siswa yang tidak ikut UN berembug untuk memecahkan masalah tersebut,
akhirnya mereka sepakat bahwa ke-tiga anak tersebut diperbolehkan mengikuti UN,
dengan syarat mereka harus membuat tulisan (desertasi) tentang UN. Dan tulisan
mereka-pun, tidak lama setelah UN telah jadi. Tulisan tersebut lalu diringkas
dan berhasil dimuat di kompas, bahkan tulisan tersebut telah diterbitkan dengan
judul buku “Lebih Asyik Tanpa Ujian Nasional”.
Itulah beberapa proses
pembelajaran yang saya ketahui di Komunitas Belajar Qoryah Thayyibah. Setelah
saya mengetahui bagaimana proses dan bagaimana output yang dihasilkan
Qoryah Thayyibah ini, muncul dibenak saya, bahwa kenapa dari dulu saya tidak
sekolah di QT?? Dan saya memiliki impian, jika saya sudah berkeluarga dan
mempunyai anak sendiri, saya akan menyekolahkan anak saya di QT ini. Alasannya
sudah sangat jelas, dengan model pembelajaran yang sudah saya sampaikan diatas
dan dengan biaya yang terbilang sangat murahjika dibandingkan sekolah-sekolah
biasa, telah menghasilkan output yang berkualitas, anak-anak seusia SMP
dan SMA sudah banyak menghasilkan karya-karya yang sangat luar biasa. Bandingkan
saja dengan anak-anak di sekolah biasa, sudah biayanya cukup mahal, namun siswa-siswanya sangat jarang yang dapat
menghasilkan karya yang demikian luar biasa.
Namun dikembalikan
kembali kepada si Subjek Pembelajaran yaitu siswa sendiri, apakah dia
sependapat dengan dengan apa yang dikatakan Pak Bahruddin??? Semua orang berhak
untuk memiliki jawaban masing-masing dan berhak untuk memutuskan jalan hidupnya
masing-masing. Karena pada dasarnya setiap individu itu berbeda, dan
perpebedaan inilah yang menjadikan sesuatu itu lebih berwarna dan lebih
menarik. Termasuk banyaknya perbedaan di dunia pendidikan kita ini, termasuk QT
ini, mereka sudah tidak percaya lagi dengan metode yang pemerintah terapkan,
akhirnya mereka menciptakan metode baru yang lebih fresh untuk
menciptakan suatu output-an yang lebih berkualitas.
Dan terkhir, harapan penulis
sendiri kuran lebih sama seperti harapan dari Pak Bahruddin. Penulis berharap
agar sekolah-sekolah alternatif atau komunitas belajar yang pro-rakyat
bisa terus bekembang dan menyebar sampai ke seluruh negeri dan akhirnya bisa
membat kehidupan masyarakat Indonesia khususnya gerasi muda kita lebih
berkualitas lagi, lagi dan lagi.. Amin…
Post a Comment