Sebagian
besar dari kita pasti sadar, betapa pentingnya sebuah pendidikan, apalagi untuk
usia bayi sampai usia remaja. Pada saat usia-usia tersebut seorang manusia wajib
mendapatkan pendidikan, karena pada usia-usia tersebut seorang manusia masih
dalam proses pembentukan karakter, jika mendapatkan pendidikan yang baik, maka
manusia tersebut biasanya akan menjadi manusia yang berkualitas otak dan
moralnya begitu juga sebaliknya. Salah satu cara untuk mendapatkan pendidikan
yang baik menurut kebanyakan orang adalah melalui sekolah.
Sekolah
adalah suatu pendidikan yang bersifat formal yang dicanangkan pemerintah yang
bertujuan untuk mendidik pesertanya agar menjadi orang yang cerdas dan
berakhlak mulia.Sekolah disini
memiliki arti yang lain dengan pendidikan, karena pendidikan tidak hanya
didapat dari sekolah, dan sekolah hanya sebagai salah satu fasilitas untuk
mendapatkan pendidikan itu sendiri. Yang perlu digaris bawahi disini adalah, sekolah
merupakan pendidikan yang bersifat formal, jadi masih banyak bentuk pendidikan
yang lain, yang bersifat nonformal dan informal.
Namun
akhir-akhir ini banyak yang meragukan kapasitas pendidikan yang bersifat formal
tersebut. Beberapa orang menyatakan, bahwa sekolah tidak lebih sebagai tangga
atau jalur pencapaian gelar yang digunakan untuk mencari pekerjaan. Bahkan ada
yang menyatakan, buat apa sekolah tinggi – tinggi kalau akhirnya menganggur
juga. Tapi ada juga pendapat yang dapat memberikan sedikit rasa lega untuk
pendidkan formal dan orang ini masih sadar bahwa pendidikan formal masih
penting, pendidikan formal memiliki peran yang sangat penting dalam mencapai
standar kehidupan yang diinginkan.
Kita
tidak bisa langsung menyalahkan pernyataan-pernyataan tersebut, pasti mereka
yang berkata begitu memiliki dasarnya masing-masing. Sekarang kita melihat
realita sosial secara umum, kebanyakan orang tua pasti ingin menyekolahkan
anaknya tinggi-tinggi, karena dalam mind set mereka telah tertanam
pikiran bahwa dengan sekolah yang tinggi maka dimasa depan akan menjadi orang
sukses, namun dalam kenyataannya banyak orang yang memiliki gelar dan ijazah S1
yang masih menganggur. Kaum-kaum yang seperti ini disebut sebagai pengangguran
terselubung seperti yang dikutip harian Bernas Jogja. Ya,
pengangguran terselubung adalah orang yang tidak memiliki perkerjaan, tetapi
tingkah lakunya seolah-olah seperti orang penting. Atau orang yang bekerja,
tetap pekerjaannya itu tidak sesuai dengan kompetensinya.
Menurut
Mu’arif dalam bukunya “Liberalisasi Pendidikan” Salah satu faktor yang
menyebabkan pengangguran terselubung ini adalah sistem pendidikan nasional
tidak memiliki orientasi untuk memandirikan para insan ademik. Faktor
kemandirian belum menjadi orientasi, sehingga out put pendidikan kita
banyak yang bermental terjajah atau menurut Rom Mangunwijaya, pendidikan kita
hanya mencetak manusia-manusia yang bermental “kuli” dan “babu” (Singgi
Nugroho, 2003). Maksudnya, pendidikan kita hanya menciptakan manusia yang
kecanduan atau ketergantungan kepada pihak lain, tidak mampu mandiri. Padahal
mental-mental seperti itu (kuli dan babu) adalah peninggalan kolonial Belanda.
Masih
menurut Mu’arif dan dengan buku yang sama, menjamurnya pengangguran terselubung
ini juga diakibatkan karena kondisi perekonomian bangsa yang mengalami krisis.
Lapangan kerja terlalu sempit untuk menampung out put pendidikan kita
yang jumlahnya ratusan ribu itu. Maka, hanya mereka yang berkompeten atau
berdaya saing tinggi saja yang memperoleh pekerjaan. (Mu’arif: Liberalisasi
Pendidikan)
Itulah
fenomena yang terjadi di negara yang kita cintai ini, banyak lulusan sarjana
yang hanya bergelar dan hanya sekedar ingin memiliki ijazah, namun tidak
memiliki keahliah seorang sarjana, mereka-lah yang hanya mengejar sesuatu dari
segi kuantitasnya saja tidak pada kualitas. Jika mereka hanya menginginkan
ijazah maka tidak perlu lelah-lelah kuliah dan buang-buang uang untuk kuliah,
sekarang jasa pembuatan ijazah tersedia dimana-mana, tinggal bayar dengan
nominal yang pastinya lebih murah dari kuliah, ijazah tidak butuh waktu lama
akan segera jadi dan siap digunakan.
Mu’arif
juga menambahkan bahwa, sekolah-sekolah hanya mengajarkan gagasan-gagasan
idealis tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Orang kemudian lebih hafal
dengan rumus-rumus Kimia, Fisika, Matematika atau teori-teori lain yang secara
langsung tidak bisa menjawab persoalan realitas yang dihadapi peserta didik.
Terkesan bahwa apa yang pernah diajarkan di sekolah hanya sebatas memori
sajadalam pikiran kita. Wajar kalau ada pernytaan yang lebih menyudutkan
persoalan pendidikan kita ini. Pendidikan kita ini Anti Realitas (Musa
Asy’ari, 2002). Tidak bisa mengantarkan seseorang untuk menghadapi persoalan
yang dihadapinya.
Apalagi
sekarang telah bayak bermunculan sekolah-sekolah alternatif, ada yang menyebut
dirinya Komunitas Belajar (Learning Society), ada yang Sekolah Alam dll, dan
mereka tidak ingin disebut sebagai sekolah. Salah satu contoh kelompok belajar
yang cukup terkenal adalah Qoryah Toyibah yang terletak di desa Kali Bening,
Salatiga. Para siswa mendapatkan pendidikan yang sangat bertolak belakang
dengan di sekolah formal. Di sana, siswa berhak menentukan sendiri jadwal,
pakaian, ruang yang digunakan untuk belajar. Dan disana juga, siswa bisa
langsung memilih kompetensi apa yang ingin diambilnya atau mereka bisa untuk
belajar apa saja, tetapi mereka tetap boleh belajar kompetensi yang lain. Tugas
guru /pembimbing hanya sebagai fasilitator dan pendamping, tidak seperti di
sekolah formal yang menjadikan guru layaknya seseorang yang tahu segalanya dan
bersifat mendikte muridnya. Jadi guru hanya mendampingi dan menyediakan
alat-alat yang dibutuhkan oleh siswanya. Yang terpenting, di Qoryah Thayyibah
ini tidak ada yang namanya ranking, karena mereka beranggapan bahwa
dengan adanya ranking, maka antara satu siswa dengan siswa yang lain akan
terjadi permusuhan, meskipun didepan mereka berteman, namun didalam hatinya mereka
juga ingin mengalahkan temannya yang lain. Dan kunci sukses sseorang belajar
adalah dengan mendapatkan tean sebanyak-banyaknya. Itulah sedikit gambaran dari
sekolah alternatif yang pernah saya kunjungi.
Kembali
ke awal permasalahan menegenai pengangguran terselubung, yang dengan kata lain kebanyakan
dari mereka itu tidak niat dalam mengenyam bangu sekolah. Sebaiknya orang-orang
yang tidak memiliki keinginan serius untuk sekolah, sebaiknya keluar saja dan
mulai berpikir untuk menjadi seorang wirausaha. Ini dibuktikan dengan sudah
banyak orang yang lebih memilih keluar dari sekolah atau Drop Out dari
kuliah dan lebih memilih untuk mencoba untuk belajar sendiri, membuka suatu
usaha, akhirnya menjadi suskse. Banyak contoh orang yang melakukan hal demikian
dan sekarang mereka hidup sukses dan namanya terkenal dimana-mana. Disini saya
akan memberikan sedikit contoh orang yang lebih memilih untuk menjadi
pengusaha.
Salah
satu orang yang tidak mengenyam bangku kuliah dan menurut saya sudah sukses
adalah fotografer asli semarang yang bernama Djoni Santoso (Om Djoni), meskipun
saat ditanya dia mengatakan bahwa dia belum sukses, tapi menurut hemat penulis,
dia sudah lebih dari yang namanya sukses. Asal tahu saja, dia sama sekali tidak
mengenyam bangku kuliah, dia belajar fotografi secara ototidak, bukan hanya
sebagai fotografi, dia juga bisa memperbaiki kamera, ditambah lagi dia memiliki
koleksi kamera sekitar 400 buah, mulai kamera yang sangat “jadul” sampai kamera
model terbaru dia punya. Sekarang namanya sudah terkenal di seluruh semarang,
bahkan mungkin di luar semarang. Dia juga pernah mendapatkan rekor MURI temannya dan banyak membuat karya-karya seni
yang sangat jarang prang membuatnya, dia telah banyak membuat patung naga,
pohon natal, bunga, dan hiasan-hiasan yang lainnya yang terbuat dari film foto
dan kameranya sendiri, dia membuat itu semua hanya seorang diri. Saya dan
bebrapa sahabat saya pada hari Kamis 22 November kemarin sempat mengunjungi
rumahnya, sebagai orang yang menurut saya sukses, dia memiliki rumah yang
sangat sederhana, orangnya ramah, murah senyum dan tidak pelit dalam menularkan
ilmunya kepada orang lain. Dan yang membuat saya lebih salut, di depan halaman
rumahnya, di membuat suatu taman kecil yang didalamnya ada patung-patung
kartun, seperti doraemon, spongebob dll, dia membuat taman tersebut dengan
biaya sendiri, taman itupun sering digunakan untuk bermain anak-anak yang
tinggal disekitar rumahnya. Inilah yang patut dicontoh dari seorang Djoni atau
biasa dipanggil Om Djoni, orangnya sangat ramah dan peduli terhadap lingkungan
sekitar.
Ya,
salah satu jalan untuk keluar dari belenggu pengangguran tersebut adalah
dengan menjadi pengusaha, dengan menjadi pengusaha kita bahkan bisa mendapatkan
penghasilan yang lebih besar daripada menjadi karyawan, dan dengan menjadi
pengusaha kita bisa me-manage uang sesuka kita, mulai dari pengeluaran,
pemasukan, sampai gaji karyawan atau istilahnya financial management
(Mario Teguh). Namun untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses diperlukan
waktu dan perjuangan yang cukup lama, inilah yang menjadi salah satu faktor
kenapa generasi muda kita kebanyakan lebih memilih mencari kerja daripada
membuat lapangan pekerjaan sendiri.
Namun
yang sangat disayangkan, di Indonesia ini hanya segelintir orang dari seluruh
masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa kewirausahaan, ini dibuktikan dengan
angka atau jumlah wirausaha di Indonesia masih 1,56% dari jumlah seluruh
penduduk Indonesia, sedangkan suatu negara dikatakan berhasil apabila memiliki
seorang wirausaha minimal 2% dari jumlah penduduknya.
Negara
Indonesia yang kita cintai ini sudah merdeka selama 67 tahun, dan kita sudah
merayakan hari pendidikan nasional yang jatuh setiap tanggal 2 mei sebanyak 53
kali. Namun, apa yang masyarakat peroleh dari pendidikan formal, dalam hal ini
sekolah? Malahan masyarakat diberikan banyak masalah yang terjadi di dunia pendidikan,
khususnya pendidikan formal dan yang paling merasakan dampaknya adalah
masyrakat kelasa menengah kebawah. Mulai dari kasus kontroversinya sekolah SBI
dan RSBI, pendidikan formal 9 tahun yang gratis tapi mahal, dan masih banyak
kasus / kontroversi yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya pendidikan yang
sifatnya formal. Di dua paragraf selanjutnya saya akan memberikan beberapa
contoh fenomena yang masih kontroversial yang terjadi di sekolah-sekolah,
khususnya di Indonesia.
Sebenarnya
apa tujuan pemerintah mengadakan program sekolah RSBI dan SBI??? Saya rasa
pemerintah beranggapan bahwa segala sesuatu yang berlabel “Internasional” itu berkualitas,
namun kenyataannya tidak. Yang membedakan sekolah RSBI dengan sekolah regular
hanya cara penyampainnya materinya saja, jika sekolah regular penyampainnya
didominasi Bahasa Indonesia sedangkan sekolah RSBI didominasi Bahasa Inggris.
Satu lagi perbedaan yang sangat “katon” adalah biayanya.. adik saya bersekolah
disalah satu SMPN RSBI dan orangtua saya harus membaya SPP sebesar RP 170.000/bulan,
namun orang tua saya sudah tahu akan biaya tersebut, dan mereka sudah siap
untuk membayarnya. Lalu apakah hasil out-put dari sekolah RSBI dijamin memiliki
kualitas yang lebih baik dari sekolah reguler?? Tentu saja tidak, contoh
nyatanya, setelah lulus SMP dan akan melanjutka ke SMA, pasti kebanyakan siswa
dari SMP reguler maupun RSBI ingin masuk ke SMA-SMA faforit, namun yang
diterima pasti sebagian besar dari SMP-SMP yang reguler. Ini membuktikan bahwa
lulusan RSBI tidak memiliki jaminan untuk bisa melanjutkan ke SMA-SMA favorit.
Mengenai
kebijakan pemerintah yang menggratiskan sekolah 9 tahun SD-SMP itu pun masih terdapat
banyak tanda tanya contohnya di daerah Palembang, salah satu orang tua murid SD
negeri di kota Palembang bernama Septi(32) mengatakan bahwa dirinya terpaksa
berhutang, karena harus menyiapkan uang sebesar Rp.2.000.000,00 supaya anaknya
dapat diterima di salah satu SMP. Hal yang serupa dialami oleh Jasman(29) yang
harus merelakan uang sebesar Rp.200.000,00 supaya anaknya dapat diterima di
sekolah negeri, untuk sebagian orang uang Rp.200.000,00 memang murah, namun
bagi keluarga Jasman yang kurang mamapu uang tersebut sangat berarti. Dan yang
membuat lebih ironis usnya lagi, setelah menyetor uang dan mendapat nomer tes ternyata nomor tersebut
malah berubah nama dari anak lain.
Bagi
masyarakat yang mampu membayar biaya ratusan ribu atau bahkan jutaan rupiah
menurut saya tidak menjadi masalah yang besar, namun bagi masyarakat kelas
menengah kebawah hal tersebut merupakan masalah yang cukup besar, dan mereka
akan berpikir dua kali sebelum mengeluarkan uang tersebut. Masyarakat miskin yang
seharusnya mendapatkan kemudahan dalam menempuh pendidikan formal malah
dipersulit.
Satu
lagi, fenomena tentang beasiswa, saya pikir langkah yang diambil pemerintah sudah
cukup bijak dalam mengatasi permasalahan pendidikan bagi masyarakat yang kurang
mampu. Namun setiap kemunculan kebijakan, pasti akan menimbulkan masalah yang
lain. Beasiswa hanya diberikan kepada orang-orang yang kurang mampu dalam ekonomi
tetapi memiliki kemampuan akademik yang bagus. Lalu, dikemanakan orang-orang
yang sudah miskin, bodoh pula. Jadi menurut hemat penulis, pendidikan kita ini
menganut sistem “yang pinter makin pinter dan yang bodoh makin bodoh”. Inilah
yang menjadi PR besar tambahan pemerintah, yang sudah memiliki banyak PR
dibelakang.
Namun
inilah yang sekarang terjadi dilapangan, sebenarnya masih banyak lagi beberapa
kebijakan pemerintah yang masih kontroversial dalam dunia pendidikan.
Kebijakan-kebijakan yang kontroversi inilah yang menyebabkan turunnya
kepercayaan masyarakat akan sekolah. Malah menurut bukti nyata dilapangan
masyarakat lebih banyak merasakan dampak buruk yang dilakukan oleh oknum-oknum
yang mengaku pelajar ini. Menurut data yang penulis peroleh disalah satu situs
internet (….), ada beberapa alasan yang cukup konkrit yang menyatakan bahwa
sekolah itu tidak terlalu penting, dan inilah beberapa alasannya:
1. Pengangguran
terbesar adalah lulusan sarjana, berdasarkan data dari Badan Pusat Statisti
(BPS), pada Februari 2011, 8,12 juta angkatan kerja kita adalah pengangguran
terbuka.
2. Yang
suka tawuran adalah para kaum pelajar, banyak kasus tawuran yang terjadi di
Indonesia, Misalnya tawuran antara SMA 6 VS SMA 70 di Jakarta yang sampai
memakan korban tewas. Kasus-kasus seperti ini malah jarang terjadi di kalangan
masyarakat yang tidak bersekolah. Ini yang menjadi salah satu bukti bahwa
sekolah tidak menjamin para pesertanya bakal berkelauan baik.
3. Free
sex terbesar dilakukan di kota Jogjakarta (Kota Pelajar), berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Zestian, bahwa 97,05% mahasiswi di Jogja telah
kehilangan keperawanan mereka melalui kegiatan sex diluar nikah. Kota pelajar
yang seharusnya menjadi contoh untuk kota lain malah menjadi contoh yang buruk.
4. Banyak
kaum terpelajar yang kurang peduli terhadap lingkungan, contoh dikampung saya,
saat kegiatan penyembelihan hewan kurban di Bulan Oktober lalu, hanya terlihat
3-5 orang terpelajar termasuk saya, yang terlihat membantu warga, yang lainnya
didominasi orang-orang tua dan orang-orang
yang sudah tidak mengenyam bangku sekolah lagi.
5. Cukup
banyak orang sukses yang tidak berpendidikan tinggi, seperti Om Djoni yang
telah saya tuliskan diatas dan tentunya masih banyak lagi.
6. Orang
yang tidak bersekolah, biasanya lebih bisa memanfaatkan waktu mereka untuk
mencari uang, dan kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk berdagang atau
berwirausaha. Daripada seseorang yang sekolah atau kuliah, yang kerjanya hanya
duduk, mendengarkan, ke kantin, pacaran dll.
Pernyataan-pernyataan
tersebut jika kita renungkan kembali memiliki nilai kebenaran yang cukup besar.
Namun dibalik itu semua dan terlepas dari segala pendapat orang-orang mengenai
bobroknya sistem pendidikan di Indonesia atau penulis tekankan disini sistem
sekolahnya. Penulis berpendapat sekolah masih punya peranan yang cukup penting bahkan
sangat penting dikehidupan para pesertanya.
Pertama,
untuk seorang anak atau remaja, sekolah adalah tempat yang sagat cocok untuk menjalani
segala bentuk proses. Disekolah mereka dapat bertemu dengan orang-orang yang
berasal dari luar daerah mereka, dengan begitu mereka akan mendapatkan hubungan
atau link, yang bisa jadi akan sangat berguna pada saat mencari
pekerjaan atau bagi yang ingin membuka usaha. Penulis akui memang banyak
wirausaha yang sukses tanpa megenyam atau hanya mengenyam pendidikan rendah,
namun dengan sekolah dan setelah sekolah seseorang berniat untuk membuka usaha,
pasti dia sudah memiliki banyak link atau kenalan untuk diajak bekerja sama
atau sekedar untuk ditawari produknya, pasti jika yang menawarkan adalah orang
yang dikenalnya, pasti kemungkinan untuk membeli produknya akan lebih besar
daripada menawarkan kepada orang yang belum kita kenal sebelumnya. Atau bahkan
bisa juga, dengan bersekolah kita bisa mendapatkan jodoh, karena sudah banyak
kejadian teman satu sekolah akhirnya mereka menikah. Disekolah juga para pesertanya dituntut untuk dapat
menjadi pribadi yang disiplin, dengan diadakannya peratutan-peraturan disekolah,
tanpa kita sadari mereka sedang belajar untuk disiplin.
Kedua, sekolah menurut hemat penulis, merupakan rumah kedua
bagi para pesertanya dan teman-teman disekolah merupakan keluarga kedua setelah
keluarga yang ada dirumah, menurut pengalaman penulis sendiri, pasti seorang
murid lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sekolahnya daripada
teman-teman yang ada dilingkungan, seperti mengerjakan tugas atau sekedar
berbincang-bincang ringan. Dan jika liburan semester tiba dan
para peserta sudah menjalani sebagian liburannya, mereka sebagian besar telah
bosan dengan liburannya, mereka malah ingin cepat-cepat berangkat untuk bertemu
dengan teman-teman.
Ketiga, Sekolah dapat memunculkan minat baca pada pesertanya.
Karena disekolah mereka diberi tugas-tugas yang menuntut mereka untuk membaca,
mulai dari buku pelajaran, buku LKS dll. Dan tentu saja ini sangat penting,
karena buku dapat dikatakan sebagai gudangnya ilmu, meskipun sekarang sudah ada
internet yang menyediakan informasi lebih cepat, buku dinilai penulis masih
lebih efektif jika digunakan sebagai proses pembelajaran. Namun menurut hemat
penulis, minat baca untuk pelajar di Indonesia masih sangat rendah, mereka
lebih senang memandangi laptop mereka daripada memandangi dan membaca buku,
walaupun masih belum jelas apakah mereka sedang membaca pengetahuan lewat
internet atau hanya sekedar membaca status orang dan mengomentarinya..
Keempat,
disekolah kita bisa mendapatkan banyak pengetahuan, bukan hanya dari guru, atau
dari membaca buku, tapi juga bisa berasal dari teman kita sendiri. Jika merujuk
pada pengalaman pribadi penulis, banyak materi yang akan menjadi lebih mudeng jika dijelaskan oleh
teman daripada guru. Pengetahuan yang luas juga akan membawa dan mempermudah para
peserta didik memiliki link yang dapat dimanfaatkan untuk karir mereka
kedepan.
Kelima, sekolah atau pendidikan formal merupakan cara
untuk meningkatkan standar hidup. Lalu bagaimana dengan banyaknya sarjana yang
menganggur?? Sedangkan si dia yang hanya lulusan SD bisa sukses, dengan menjadi
seorang pengusaha. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kembali penulis
memberikan pernyataan kembali, berapa banyak diantara orang-orang kita yang
benar-benar memiliki jiwa wirausaha?? Mungkin dari 50 orang yang benar-benar memiliki
jiwa wirausaha hanya 3-5 orang saja. Lalu sisanya mau dikemanakan?? Tentu
mereka masih mengandalkan ijazah mereka untuk bekerja di orang lain. Sekarang
berbagai perusahaan mensyaratkan untuk para pelamarnya memiliki ijazah dan
tentunya skill yang cukup. Meskipun banyak orang yang memiliki
pekerjaan yang melenceng dari background pendidikannya, asalkan dia mendapatan gaji yang
cukup besar, kenapa tidak?? Ambil saja...
Keenam,
disekolah kita bisa mendapatkan pendidikan agama,
agama adalah dasar dari segala ilmu. Sewaktu kita kecil, penulis yakin, kita
diberi pelajaran-pelajaran agama oleh orang tua kita. Tapi, apakah pelajaran
yang kita dapatkan itu sudah cukup??? Saya yakin tidak, meskipun kita mengikuti
pelajaran agama di sekolahpun juga tidak akan pernah cukup. Tapi, minimal,
dengan kita mengikuti pelajaran agama di sekolah kita bisa menambah meskipun
hanya sedikit, itu bisa menjadi bekal berharga di kehidupan selanjutnya. Namun,
yang penulis sayangkan masih sangat sedikit, sekolah-sekolah yang memperbanyak
jam pelajaran agama, sebagian besar sekolah di Indonesia, hanya menempatkan
pelajaran agama sekali dalam seminggu. Padahal agama, sudah sanga jelas tertuang di dalam pancasila.
Ya, itulah beberapa
manfaat yang dapat kita ambil dengan kita mengenyam pendidikan formal atau
sekolah. Penulis akui memang masih banyak carut marut didunia pendidikan kita,
seperti yang penulis telah sampaikan. Dan penulis berpendapat beberapa hal yang
telah mencoreng nama baik pendidikan kita itu tidak hanya disebabkan oleh
pemerintah, beberapa hal ada yang berasal dari si belajar itu sendiri atau para
pesertanya itu sendiri dan dari si pengajar atau guru. Misalnya mengenai
tawuran, banyak orang yang meng-kambing hitamkan guru, namun menurut pendapat penulis,
itu adalah kesalahan dari orang tua yang kurang memberikannya pendidikan
dirumah dan kurang bisa mengontrol mereka, karena sebagian besar waktu siswa
dihabiskan dilingkungan luar sekolah.
Satu lagi yang belum
penulis sebutan, yaitu kesalahan yang menyudutkan pemerintah sebagai kambing
hitam adalah mengenai kurikulum. Menurut pendapat penulis sendiri, pergantian
kurikulum itu sendiri bukan suatu masalah, kurikulum sekarang yang digunakan
adalah kurikulum yang menuntut guru untuk mengatur sendiri materi apa saja yang
akan diajarkan oleh para pesertanya, namun banyak guru yang memprotesnya. Menurut
penulis, perilaku guru yang memprotes pergantian kurikulum tersebut adalah,
karena guru tidak mampu untuk menjalankannya, guru sudah nyaman dengan
kurikulum sebelumnya, yang guru hanya tinggal mengajarkan materi yang telah
disiapkan oleh pemerintah kepada peserta didik. Disini guru tidak mau repot,
dan guru tidak mau belajar tentang kurikulum yang baru ini, karena guru adalah
komponen terpenting dalam mengukur berhasil atau tidaknya suatu kurikulum. Hal
tersebut didukung dengan pernyataan salah satu dosen dari penulis sendiri, yang
menyatakan bahwa tidak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah guru yang tidak
bisa mengajar, karena mengajar adalah seni.
Sebagai
penutup penulis dapat menyimpulkan, bahwa dengan mengenyam bangku pendidikan
formal atau sekolah para peserta tidak akan mengalami kerugian. Sekarang, yang
menjadi core problem adalah bagaimana institusi pendidikan formal
tersebut dijalankan, dan bagaimana dengan perilaku-perilau orang yang ada
didalamnya termasuk orang tua siswa dan siswa itu sendiri. Penulis sangat sadar
bahwa, sistem pendidikan di Indonesia memang masih sangat carut marut, namun
dibalik kecarut marutan pendidikan kita, tentu masih ada hal yang positif. Bisa
jadi orang-orang disekitar anda yang sekarang menyayangi anda dan yang
memberikan nafkah kepada anda, adalah hasil dari pendidikan yang diterapkan di
Indonesia. Jadi apapun yang terjadi, kita harus tetap setia dan cinta pada tanah
air tercinta kita ini, Indonesia. Pesan
dari penulis yang dikutip dari perkataan dosen, kita jangan suka menjadi orang
yang hanya kritis saja, tetapi kita harus solutif, disamping mengkritik kita
juga harus memberkan jalan keluar atau solusi terhadap suatu permasalahan.
Sumber:
Mu’arif.Liberalisasi Pendidikan.Yogyakarta:
PINUS, 2003
Post a Comment