Sekolah.. Pentingkah??

Thursday, January 3, 2013 | comments


         Sebagian besar dari kita pasti sadar, betapa pentingnya sebuah pendidikan, apalagi untuk usia bayi sampai usia remaja. Pada saat usia-usia tersebut seorang manusia wajib mendapatkan pendidikan, karena pada usia-usia tersebut seorang manusia masih dalam proses pembentukan karakter, jika mendapatkan pendidikan yang baik, maka manusia tersebut biasanya akan menjadi manusia yang berkualitas otak dan moralnya begitu juga sebaliknya. Salah satu cara untuk mendapatkan pendidikan yang baik menurut kebanyakan orang adalah melalui sekolah.
Sekolah adalah suatu pendidikan yang bersifat formal yang dicanangkan pemerintah yang bertujuan untuk mendidik pesertanya agar menjadi orang yang cerdas dan berakhlak mulia.Sekolah disini memiliki arti yang lain dengan pendidikan, karena pendidikan tidak hanya didapat dari sekolah, dan sekolah hanya sebagai salah satu fasilitas untuk mendapatkan pendidikan itu sendiri. Yang perlu digaris bawahi disini adalah, sekolah merupakan pendidikan yang bersifat formal, jadi masih banyak bentuk pendidikan yang lain, yang bersifat nonformal dan informal.

Namun akhir-akhir ini banyak yang meragukan kapasitas pendidikan yang bersifat formal tersebut. Beberapa orang menyatakan, bahwa sekolah tidak lebih sebagai tangga atau jalur pencapaian gelar yang digunakan untuk mencari pekerjaan. Bahkan ada yang menyatakan, buat apa sekolah tinggi – tinggi kalau akhirnya menganggur juga. Tapi ada juga pendapat yang dapat memberikan sedikit rasa lega untuk pendidkan formal dan orang ini masih sadar bahwa pendidikan formal masih penting, pendidikan formal memiliki peran yang sangat penting dalam mencapai standar kehidupan yang diinginkan.
 Kita tidak bisa langsung menyalahkan pernyataan-pernyataan tersebut, pasti mereka yang berkata begitu memiliki dasarnya masing-masing. Sekarang kita melihat realita sosial secara umum, kebanyakan orang tua pasti ingin menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi, karena dalam mind set mereka telah tertanam pikiran bahwa dengan sekolah yang tinggi maka dimasa depan akan menjadi orang sukses, namun dalam kenyataannya banyak orang yang memiliki gelar dan ijazah S1 yang masih menganggur. Kaum-kaum yang seperti ini disebut sebagai pengangguran terselubung seperti yang dikutip harian Bernas Jogja. Ya, pengangguran terselubung adalah orang yang tidak memiliki perkerjaan, tetapi tingkah lakunya seolah-olah seperti orang penting. Atau orang yang bekerja, tetap pekerjaannya itu tidak sesuai dengan kompetensinya.
Menurut Mu’arif dalam bukunya “Liberalisasi Pendidikan” Salah satu faktor yang menyebabkan pengangguran terselubung ini adalah sistem pendidikan nasional tidak memiliki orientasi untuk memandirikan para insan ademik. Faktor kemandirian belum menjadi orientasi, sehingga out put pendidikan kita banyak yang bermental terjajah atau menurut Rom Mangunwijaya, pendidikan kita hanya mencetak manusia-manusia yang bermental “kuli” dan “babu” (Singgi Nugroho, 2003). Maksudnya, pendidikan kita hanya menciptakan manusia yang kecanduan atau ketergantungan kepada pihak lain, tidak mampu mandiri. Padahal mental-mental seperti itu (kuli dan babu) adalah peninggalan kolonial Belanda.
Masih menurut Mu’arif dan dengan buku yang sama, menjamurnya pengangguran terselubung ini juga diakibatkan karena kondisi perekonomian bangsa yang mengalami krisis. Lapangan kerja terlalu sempit untuk menampung out put pendidikan kita yang jumlahnya ratusan ribu itu. Maka, hanya mereka yang berkompeten atau berdaya saing tinggi saja yang memperoleh pekerjaan. (Mu’arif: Liberalisasi Pendidikan)
Itulah fenomena yang terjadi di negara yang kita cintai ini, banyak lulusan sarjana yang hanya bergelar dan hanya sekedar ingin memiliki ijazah, namun tidak memiliki keahliah seorang sarjana, mereka-lah yang hanya mengejar sesuatu dari segi kuantitasnya saja tidak pada kualitas. Jika mereka hanya menginginkan ijazah maka tidak perlu lelah-lelah kuliah dan buang-buang uang untuk kuliah, sekarang jasa pembuatan ijazah tersedia dimana-mana, tinggal bayar dengan nominal yang pastinya lebih murah dari kuliah, ijazah tidak butuh waktu lama akan segera  jadi dan siap digunakan.
Mu’arif juga menambahkan bahwa, sekolah-sekolah hanya mengajarkan gagasan-gagasan idealis tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Orang kemudian lebih hafal dengan rumus-rumus Kimia, Fisika, Matematika atau teori-teori lain yang secara langsung tidak bisa menjawab persoalan realitas yang dihadapi peserta didik. Terkesan bahwa apa yang pernah diajarkan di sekolah hanya sebatas memori sajadalam pikiran kita. Wajar kalau ada pernytaan yang lebih menyudutkan persoalan pendidikan kita ini. Pendidikan kita ini Anti Realitas (Musa Asy’ari, 2002). Tidak bisa mengantarkan seseorang untuk menghadapi persoalan yang dihadapinya.
Apalagi sekarang telah bayak bermunculan sekolah-sekolah alternatif, ada yang menyebut dirinya Komunitas Belajar (Learning Society), ada yang Sekolah Alam dll, dan mereka tidak ingin disebut sebagai sekolah. Salah satu contoh kelompok belajar yang cukup terkenal adalah Qoryah Toyibah yang terletak di desa Kali Bening, Salatiga. Para siswa mendapatkan pendidikan yang sangat bertolak belakang dengan di sekolah formal. Di sana, siswa berhak menentukan sendiri jadwal, pakaian, ruang yang digunakan untuk belajar. Dan disana juga, siswa bisa langsung memilih kompetensi apa yang ingin diambilnya atau mereka bisa untuk belajar apa saja, tetapi mereka tetap boleh belajar kompetensi yang lain. Tugas guru /pembimbing hanya sebagai fasilitator dan pendamping, tidak seperti di sekolah formal yang menjadikan guru layaknya seseorang yang tahu segalanya dan bersifat mendikte muridnya. Jadi guru hanya mendampingi dan menyediakan alat-alat yang dibutuhkan oleh siswanya. Yang terpenting, di Qoryah Thayyibah ini tidak ada yang namanya ranking, karena mereka beranggapan bahwa dengan adanya ranking, maka antara satu siswa dengan siswa yang lain akan terjadi permusuhan, meskipun didepan mereka berteman, namun didalam hatinya mereka juga ingin mengalahkan temannya yang lain. Dan kunci sukses sseorang belajar adalah dengan mendapatkan tean sebanyak-banyaknya. Itulah sedikit gambaran dari sekolah alternatif yang pernah saya kunjungi.
Kembali ke awal permasalahan menegenai pengangguran terselubung, yang dengan kata lain kebanyakan dari mereka itu tidak niat dalam mengenyam bangu sekolah. Sebaiknya orang-orang yang tidak memiliki keinginan serius untuk sekolah, sebaiknya keluar saja dan mulai berpikir untuk menjadi seorang wirausaha. Ini dibuktikan dengan sudah banyak orang yang lebih memilih keluar dari sekolah atau Drop Out dari kuliah dan lebih memilih untuk mencoba untuk belajar sendiri, membuka suatu usaha, akhirnya menjadi suskse. Banyak contoh orang yang melakukan hal demikian dan sekarang mereka hidup sukses dan namanya terkenal dimana-mana. Disini saya akan memberikan sedikit contoh orang yang lebih memilih untuk menjadi pengusaha.
Salah satu orang yang tidak mengenyam bangku kuliah dan menurut saya sudah sukses adalah fotografer asli semarang yang bernama Djoni Santoso (Om Djoni), meskipun saat ditanya dia mengatakan bahwa dia belum sukses, tapi menurut hemat penulis, dia sudah lebih dari yang namanya sukses. Asal tahu saja, dia sama sekali tidak mengenyam bangku kuliah, dia belajar fotografi secara ototidak, bukan hanya sebagai fotografi, dia juga bisa memperbaiki kamera, ditambah lagi dia memiliki koleksi kamera sekitar 400 buah, mulai kamera yang sangat “jadul” sampai kamera model terbaru dia punya. Sekarang namanya sudah terkenal di seluruh semarang, bahkan mungkin di luar semarang. Dia juga pernah mendapatkan rekor MURI temannya dan banyak membuat karya-karya seni yang sangat jarang prang membuatnya, dia telah banyak membuat patung naga, pohon natal, bunga, dan hiasan-hiasan yang lainnya yang terbuat dari film foto dan kameranya sendiri, dia membuat itu semua hanya seorang diri. Saya dan bebrapa sahabat saya pada hari Kamis 22 November kemarin sempat mengunjungi rumahnya, sebagai orang yang menurut saya sukses, dia memiliki rumah yang sangat sederhana, orangnya ramah, murah senyum dan tidak pelit dalam menularkan ilmunya kepada orang lain. Dan yang membuat saya lebih salut, di depan halaman rumahnya, di membuat suatu taman kecil yang didalamnya ada patung-patung kartun, seperti doraemon, spongebob dll, dia membuat taman tersebut dengan biaya sendiri, taman itupun sering digunakan untuk bermain anak-anak yang tinggal disekitar rumahnya. Inilah yang patut dicontoh dari seorang Djoni atau biasa dipanggil Om Djoni, orangnya sangat ramah dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Ya, salah satu jalan untuk keluar dari belenggu pengangguran tersebut adalah dengan menjadi pengusaha, dengan menjadi pengusaha kita bahkan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar daripada menjadi karyawan, dan dengan menjadi pengusaha kita bisa me-manage uang sesuka kita, mulai dari pengeluaran, pemasukan, sampai gaji karyawan atau istilahnya financial management (Mario Teguh). Namun untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses diperlukan waktu dan perjuangan yang cukup lama, inilah yang menjadi salah satu faktor kenapa generasi muda kita kebanyakan lebih memilih mencari kerja daripada membuat lapangan pekerjaan sendiri.

Namun yang sangat disayangkan, di Indonesia ini hanya segelintir orang dari seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa kewirausahaan, ini dibuktikan dengan angka atau jumlah wirausaha di Indonesia masih 1,56% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia, sedangkan suatu negara dikatakan berhasil apabila memiliki seorang wirausaha minimal 2% dari jumlah penduduknya.
Negara Indonesia yang kita cintai ini sudah merdeka selama 67 tahun, dan kita sudah merayakan hari pendidikan nasional yang jatuh setiap tanggal 2 mei sebanyak 53 kali. Namun, apa yang masyarakat peroleh dari pendidikan formal, dalam hal ini sekolah? Malahan masyarakat diberikan banyak masalah yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya pendidikan formal dan yang paling merasakan dampaknya adalah masyrakat kelasa menengah kebawah. Mulai dari kasus kontroversinya sekolah SBI dan RSBI, pendidikan formal 9 tahun yang gratis tapi mahal, dan masih banyak kasus / kontroversi yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya pendidikan yang sifatnya formal. Di dua paragraf selanjutnya saya akan memberikan beberapa contoh fenomena yang masih kontroversial yang terjadi di sekolah-sekolah, khususnya di Indonesia.
Sebenarnya apa tujuan pemerintah mengadakan program sekolah RSBI dan SBI??? Saya rasa pemerintah beranggapan bahwa segala sesuatu yang berlabel “Internasional” itu berkualitas, namun kenyataannya tidak. Yang membedakan sekolah RSBI dengan sekolah regular hanya cara penyampainnya materinya saja, jika sekolah regular penyampainnya didominasi Bahasa Indonesia sedangkan sekolah RSBI didominasi Bahasa Inggris. Satu lagi perbedaan yang sangat “katon” adalah biayanya.. adik saya bersekolah disalah satu SMPN RSBI dan orangtua saya harus membaya SPP sebesar RP 170.000/bulan, namun orang tua saya sudah tahu akan biaya tersebut, dan mereka sudah siap untuk membayarnya. Lalu apakah hasil out-put dari sekolah RSBI dijamin memiliki kualitas yang lebih baik dari sekolah reguler?? Tentu saja tidak, contoh nyatanya, setelah lulus SMP dan akan melanjutka ke SMA, pasti kebanyakan siswa dari SMP reguler maupun RSBI ingin masuk ke SMA-SMA faforit, namun yang diterima pasti sebagian besar dari SMP-SMP yang reguler. Ini membuktikan bahwa lulusan RSBI tidak memiliki jaminan untuk bisa melanjutkan ke SMA-SMA favorit.
Mengenai kebijakan pemerintah yang menggratiskan sekolah 9 tahun SD-SMP itu pun masih terdapat banyak tanda tanya contohnya di daerah Palembang, salah satu orang tua murid SD negeri di kota Palembang bernama Septi(32) mengatakan bahwa dirinya terpaksa berhutang, karena harus menyiapkan uang sebesar Rp.2.000.000,00 supaya anaknya dapat diterima di salah satu SMP. Hal yang serupa dialami oleh Jasman(29) yang harus merelakan uang sebesar Rp.200.000,00 supaya anaknya dapat diterima di sekolah negeri, untuk sebagian orang uang Rp.200.000,00 memang murah, namun bagi keluarga Jasman yang kurang mamapu uang tersebut sangat berarti. Dan yang membuat lebih ironis usnya lagi, setelah menyetor uang  dan mendapat nomer tes ternyata nomor tersebut malah berubah nama dari anak lain.
Bagi masyarakat yang mampu membayar biaya ratusan ribu atau bahkan jutaan rupiah menurut saya tidak menjadi masalah yang besar, namun bagi masyarakat kelas menengah kebawah hal tersebut merupakan masalah yang cukup besar, dan mereka akan berpikir dua kali sebelum mengeluarkan uang tersebut. Masyarakat miskin yang seharusnya mendapatkan kemudahan dalam menempuh pendidikan formal malah dipersulit.
Satu lagi, fenomena tentang beasiswa, saya pikir langkah yang diambil pemerintah sudah cukup bijak dalam mengatasi permasalahan pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun setiap kemunculan kebijakan, pasti akan menimbulkan masalah yang lain. Beasiswa hanya diberikan kepada orang-orang yang kurang mampu dalam ekonomi tetapi memiliki kemampuan akademik yang bagus. Lalu, dikemanakan orang-orang yang sudah miskin, bodoh pula. Jadi menurut hemat penulis, pendidikan kita ini menganut sistem “yang pinter makin pinter dan yang bodoh makin bodoh”. Inilah yang menjadi PR besar tambahan pemerintah, yang sudah memiliki banyak PR dibelakang.
Namun inilah yang sekarang terjadi dilapangan, sebenarnya masih banyak lagi beberapa kebijakan pemerintah yang masih kontroversial dalam dunia pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang kontroversi inilah yang menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat akan sekolah. Malah menurut bukti nyata dilapangan masyarakat lebih banyak merasakan dampak buruk yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mengaku pelajar ini. Menurut data yang penulis peroleh disalah satu situs internet (….), ada beberapa alasan yang cukup konkrit yang menyatakan bahwa sekolah itu tidak terlalu penting, dan inilah beberapa alasannya:
1.      Pengangguran terbesar adalah lulusan sarjana, berdasarkan data dari Badan Pusat Statisti (BPS), pada Februari 2011, 8,12 juta angkatan kerja kita adalah pengangguran terbuka.
2.      Yang suka tawuran adalah para kaum pelajar, banyak kasus tawuran yang terjadi di Indonesia, Misalnya tawuran antara SMA 6 VS SMA 70 di Jakarta yang sampai memakan korban tewas. Kasus-kasus seperti ini malah jarang terjadi di kalangan masyarakat yang tidak bersekolah. Ini yang menjadi salah satu bukti bahwa sekolah tidak menjamin para pesertanya bakal berkelauan baik.
3.      Free sex terbesar dilakukan di kota Jogjakarta (Kota Pelajar), berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zestian, bahwa 97,05% mahasiswi di Jogja telah kehilangan keperawanan mereka melalui kegiatan sex diluar nikah. Kota pelajar yang seharusnya menjadi contoh untuk kota lain malah menjadi contoh yang buruk.
4.      Banyak kaum terpelajar yang kurang peduli terhadap lingkungan, contoh dikampung saya, saat kegiatan penyembelihan hewan kurban di Bulan Oktober lalu, hanya terlihat 3-5 orang terpelajar termasuk saya, yang terlihat membantu warga, yang lainnya didominasi orang-orang tua dan orang-orang  yang sudah tidak mengenyam bangku sekolah lagi.
5.      Cukup banyak orang sukses yang tidak berpendidikan tinggi, seperti Om Djoni yang telah saya tuliskan diatas dan tentunya masih banyak lagi.
6.      Orang yang tidak bersekolah, biasanya lebih bisa memanfaatkan waktu mereka untuk mencari uang, dan kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk berdagang atau berwirausaha. Daripada seseorang yang sekolah atau kuliah, yang kerjanya hanya duduk, mendengarkan, ke kantin, pacaran dll.

Pernyataan-pernyataan tersebut jika kita renungkan kembali memiliki nilai kebenaran yang cukup besar. Namun dibalik itu semua dan terlepas dari segala pendapat orang-orang mengenai bobroknya sistem pendidikan di Indonesia atau penulis tekankan disini sistem sekolahnya. Penulis berpendapat sekolah masih punya peranan yang cukup penting bahkan sangat penting dikehidupan para pesertanya.
Pertama, untuk seorang anak atau remaja, sekolah adalah tempat yang sagat cocok untuk menjalani segala bentuk proses. Disekolah mereka dapat bertemu dengan orang-orang yang berasal dari luar daerah mereka, dengan begitu mereka akan mendapatkan hubungan atau link, yang bisa jadi akan sangat berguna pada saat mencari pekerjaan atau bagi yang ingin membuka usaha. Penulis akui memang banyak wirausaha yang sukses tanpa megenyam atau hanya mengenyam pendidikan rendah, namun dengan sekolah dan setelah sekolah seseorang berniat untuk membuka usaha, pasti dia sudah memiliki banyak link atau kenalan untuk diajak bekerja sama atau sekedar untuk ditawari produknya, pasti jika yang menawarkan adalah orang yang dikenalnya, pasti kemungkinan untuk membeli produknya akan lebih besar daripada menawarkan kepada orang yang belum kita kenal sebelumnya. Atau bahkan bisa juga, dengan bersekolah kita bisa mendapatkan jodoh, karena sudah banyak kejadian teman satu sekolah akhirnya mereka menikah. Disekolah juga para pesertanya dituntut untuk dapat menjadi pribadi yang disiplin, dengan diadakannya peratutan-peraturan disekolah, tanpa kita sadari mereka sedang belajar untuk disiplin.
Kedua, sekolah menurut hemat penulis, merupakan rumah kedua bagi para pesertanya dan teman-teman disekolah merupakan keluarga kedua setelah keluarga yang ada dirumah, menurut pengalaman penulis sendiri, pasti seorang murid lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sekolahnya daripada teman-teman yang ada dilingkungan, seperti mengerjakan tugas atau sekedar berbincang-bincang ringan. Dan jika liburan semester tiba dan para peserta sudah menjalani sebagian liburannya, mereka sebagian besar telah bosan dengan liburannya, mereka malah ingin cepat-cepat berangkat untuk bertemu dengan teman-teman.
Ketiga, Sekolah dapat memunculkan minat baca pada pesertanya. Karena disekolah mereka diberi tugas-tugas yang menuntut mereka untuk membaca, mulai dari buku pelajaran, buku LKS dll. Dan tentu saja ini sangat penting, karena buku dapat dikatakan sebagai gudangnya ilmu, meskipun sekarang sudah ada internet yang menyediakan informasi lebih cepat, buku dinilai penulis masih lebih efektif jika digunakan sebagai proses pembelajaran. Namun menurut hemat penulis, minat baca untuk pelajar di Indonesia masih sangat rendah, mereka lebih senang memandangi laptop mereka daripada memandangi dan membaca buku, walaupun masih belum jelas apakah mereka sedang membaca pengetahuan lewat internet atau hanya sekedar membaca status orang dan mengomentarinya..
Keempat, disekolah kita bisa mendapatkan banyak pengetahuan, bukan hanya dari guru, atau dari membaca buku, tapi juga bisa berasal dari teman kita sendiri. Jika merujuk pada pengalaman pribadi penulis, banyak materi yang akan menjadi  lebih mudeng jika dijelaskan oleh teman daripada guru. Pengetahuan yang luas juga akan membawa dan mempermudah para peserta didik memiliki link yang dapat dimanfaatkan untuk karir mereka kedepan.
Kelima, sekolah atau pendidikan formal merupakan cara untuk meningkatkan standar hidup. Lalu bagaimana dengan banyaknya sarjana yang menganggur?? Sedangkan si dia yang hanya lulusan SD bisa sukses, dengan menjadi seorang pengusaha. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kembali penulis memberikan pernyataan kembali, berapa banyak diantara orang-orang kita yang benar-benar memiliki jiwa wirausaha?? Mungkin dari 50 orang yang benar-benar memiliki jiwa wirausaha hanya 3-5 orang saja. Lalu sisanya mau dikemanakan?? Tentu mereka masih mengandalkan ijazah mereka untuk bekerja di orang lain. Sekarang berbagai perusahaan mensyaratkan untuk para pelamarnya memiliki ijazah dan tentunya skill yang cukup. Meskipun banyak orang yang memiliki pekerjaan yang melenceng dari background pendidikannya, asalkan dia mendapatan gaji yang cukup besar, kenapa tidak?? Ambil saja...
Keenam, disekolah kita bisa mendapatkan pendidikan agama, agama adalah dasar dari segala ilmu. Sewaktu kita kecil, penulis yakin, kita diberi pelajaran-pelajaran agama oleh orang tua kita. Tapi, apakah pelajaran yang kita dapatkan itu sudah cukup??? Saya yakin tidak, meskipun kita mengikuti pelajaran agama di sekolahpun juga tidak akan pernah cukup. Tapi, minimal, dengan kita mengikuti pelajaran agama di sekolah kita bisa menambah meskipun hanya sedikit, itu bisa menjadi bekal berharga di kehidupan selanjutnya. Namun, yang penulis sayangkan masih sangat sedikit, sekolah-sekolah yang memperbanyak jam pelajaran agama, sebagian besar sekolah di Indonesia, hanya menempatkan pelajaran agama sekali dalam seminggu. Padahal agama, sudah sanga jelas tertuang  di dalam pancasila.
Ya, itulah beberapa manfaat yang dapat kita ambil dengan kita mengenyam pendidikan formal atau sekolah. Penulis akui memang masih banyak carut marut didunia pendidikan kita, seperti yang penulis telah sampaikan. Dan penulis berpendapat beberapa hal yang telah mencoreng nama baik pendidikan kita itu tidak hanya disebabkan oleh pemerintah, beberapa hal ada yang berasal dari si belajar itu sendiri atau para pesertanya itu sendiri dan dari si pengajar atau guru. Misalnya mengenai tawuran, banyak orang yang meng-kambing hitamkan guru, namun menurut pendapat penulis, itu adalah kesalahan dari orang tua yang kurang memberikannya pendidikan dirumah dan kurang bisa mengontrol mereka, karena sebagian besar waktu siswa dihabiskan dilingkungan luar sekolah.
Satu lagi yang belum penulis sebutan, yaitu kesalahan yang menyudutkan pemerintah sebagai kambing hitam adalah mengenai kurikulum. Menurut pendapat penulis sendiri, pergantian kurikulum itu sendiri bukan suatu masalah, kurikulum sekarang yang digunakan adalah kurikulum yang menuntut guru untuk mengatur sendiri materi apa saja yang akan diajarkan oleh para pesertanya, namun banyak guru yang memprotesnya. Menurut penulis, perilaku guru yang memprotes pergantian kurikulum tersebut adalah, karena guru tidak mampu untuk menjalankannya, guru sudah nyaman dengan kurikulum sebelumnya, yang guru hanya tinggal mengajarkan materi yang telah disiapkan oleh pemerintah kepada peserta didik. Disini guru tidak mau repot, dan guru tidak mau belajar tentang kurikulum yang baru ini, karena guru adalah komponen terpenting dalam mengukur berhasil atau tidaknya suatu kurikulum. Hal tersebut didukung dengan pernyataan salah satu dosen dari penulis sendiri, yang menyatakan bahwa tidak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajar, karena mengajar adalah seni.
            Sebagai penutup penulis dapat menyimpulkan, bahwa dengan mengenyam bangku pendidikan formal atau sekolah para peserta tidak akan mengalami kerugian. Sekarang, yang menjadi core problem adalah bagaimana institusi pendidikan formal tersebut dijalankan, dan bagaimana dengan perilaku-perilau orang yang ada didalamnya termasuk orang tua siswa dan siswa itu sendiri. Penulis sangat sadar bahwa, sistem pendidikan di Indonesia memang masih sangat carut marut, namun dibalik kecarut marutan pendidikan kita, tentu masih ada hal yang positif. Bisa jadi orang-orang disekitar anda yang sekarang menyayangi anda dan yang memberikan nafkah kepada anda, adalah hasil dari pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Jadi apapun yang terjadi, kita harus tetap setia dan cinta pada tanah air tercinta kita ini, Indonesia.  Pesan dari penulis yang dikutip dari perkataan dosen, kita jangan suka menjadi orang yang hanya kritis saja, tetapi kita harus solutif, disamping mengkritik kita juga harus memberkan jalan keluar atau solusi terhadap suatu permasalahan.

Sumber:
Mu’arif.Liberalisasi Pendidikan.Yogyakarta: PINUS, 2003

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. IRIDESCENT BLOG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...